Pertanyaan klasik dan biasanya jawabannya juga klasik,
Kata siapa seorang ibu harus tinggal di rumah?
Siapa bilang seorang ibu tidak bisa sambil bekerja?
Sekarang jaman emansipasi, sudah tidak seperti RA Kartini !
Begitu biasanya ya jawabannya..
Secara logika memang benar,
tidak ada aturan yang mengharuskan seorang ibu tinggal di rumah.
Tapi ternyata secara aturan budaya dan agama,
hal tersebut justru dianggap benar ?
Jadi terlalu fanatik religiuskan kita kalau mengikuti ajaran agama?
Apakah dianggap kuno kalau masih menjunjung tinggi nilai budaya ?
Tidak ada jawaban hitam putih untuk pertanyaan itu.
Semuanya kembali kepada yang menjalani.
Kalau saya ditanya pertanyaan tersebut 3 tahun lalu,
pasti jawaban saya klasik seperti di atas.
Tapi kalau saya ditanya saat ini,
dengan tegas saya katakan "Ya, seorang ibu harus tinggal di rumah!"
Lha memangnya kenapa ?
Apa yang berubah dengan saya beberapa tahun terakhir ?
Satu alasannya, karena saya mengalami keduanya !
Saat di awal pernikahan, pekerjaan adalah target saya.
Menjadi yang terbaik di pekerjaan merupakan kebanggan tersendiri.
Keluarga belum menjadi prioritas saat masih berdua saja.
Padahal secara aturan agama,
seorang istri wajib menjaga harta benda suaminya,
juga kehormatan suaminya,
serta dipertanggungjawabkan di akhirat nanti tentunya.
Apa konsekuensinya ?
Ya harus memelihara dan menjaga rumah beserta isinya.
Harus hidup bertetangga dengan baik sebagai wakil suami.
Harus siap menerima tamu jika ada yang datang.
Lalu kalau istri bekerja ? Apa pembenarannya ?
Betul bisa diwakilkan kepada pembantu, supir dan pegawai lainnya.
Tapi apakah kemampuan akal dan pertimbangan nalurinya sama dengan kita?
Ya..itu harga yang harus dibayar..
Apalagi saat sudah mempunyai anak,
jelas - jelas anak adalah amanah,
harus dijaga, dididik dan dibesarkan dengan baik.
Kalau dititipkan pada baby sitter atau pembantu ?
Apakah intelektual dan batiniah mereka setara dengan kita ?
Apakah anak kita mendapatkan stimulasi yang maksimal ?
Apakah anak kita diberi contoh bagaimana menjadi manusia yang seperti orang tuanya?
Sekali lagi ya....itu harga yang harus dibayar...
Pembenaran yang mungkin muncul adalah perlunya sang ibu berprestasi,
adalah esensial bagi seorang wanita untuk bisa mengaktualisasi dirinya.
Lalu berhasil mengurus rumah tangga dan membesarkan anak - anaknya dengan baik bukan prestasi ?
Selalu mendampingi anak - anaknya dalam setiap tahap kehidupannya bukan aktualisasi diri ?
Apakah juga mudah melakukan manajemen waktu rumah tangga dimana faktor penentunya adalah anak - anak yang tidak pernah terduga aktifitasnya ?
Mungkin penilaian masyarakat secara umum terhadap ibu rumah tangga yang kurang benar,
sehingga seorang ibu harus memakai blazer dan sepatu tinggi serta pergi rapat dengan pejabat untuk merasa berprestasi dan beraktualisasi ?
Untuk terakhir kalinya...semuanya diserahkan kepada yang menjalankannya.
Bagi saya tanggung jawab saya sebagai seorang insinyur teknik kimia yang berhasil mengumpulkan banyak pengalaman di bidang pemanfaatan panas bumi,
dapat selalu digantikan oleh insinyur teknik kimia lainnya.
Namun tanggungjawab saya sebagai istri dari suami saya serta ibu dari kedua anak saya,
tak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun di dunia ini,
bahkan mungkin di akhirat nanti, insya Allah !
Jadi mari kita renungkan apakah hati dan akal kita telah sejalan ?
Apakah betul - betul tidak ada pilihan lain dari apa yang kita jalankan saat ini ?
Apa benar hidup kita akan hancur jika kita tidak bekerja di luar rumah ?
Apakah tidak ada cara untuk tetap tinggal di rumah namun tetap pula berpenghasilan cukup?
Jawabannya hanya kita sendiri yang tahu :-)
No comments:
Post a Comment